kisah imam lapeo

Imam Lapeo (K.H Muhammad Thahir)

K.H MUHAMMAD THAHIR “IMAM LAPEO”
Catatan : Abdul Rajab Abduh
K.H. Muhammad Thahir adalah sosok penyebar ajaran Islam yang menjadi panutan bagi masyarakat di daerah Mandar, Sulawesi Barat. Oleh sebab itu, K.H. Muhammad Thahir ditempatkan pada posisi terhormat dan dimuliakan oleh masyarakat Mandar. Karena beliau yang menjadi sumber ilmu Agama bagi masyarakat Mandar, baik dalam Ilmu Syariat maupun Tasawuf. KH.Muh.Thahir dipandang sebagai pemimpin kharismatik yang memiliki kelebihan serta karomah, diantaranya kemampuan beliau dalam menyembuhkan penyakit, dan kecintaan beliau kepada rakyat merupakan bagian dalam kehidupannya. ( H. Abdul Malik )
K.H Muhammad Thahir dilahirkan pada tahun 1838 M di Kampung Pambusuang (sekarang wilayah Kec. Balanipa Kab. Polman Sulawesi Barat ). Ayahnya bernama Muhammad Bin Haji Abdul Karim Al Talahi adalah seorang guru mengaji Al-qur’an dengan menggunakan metode mengajar paling handal yang diwariskan dari kakek Imam Lapeo, yaitu H. Abd. Karim Al Talahi (populer dengan nama Nugo) kepada anaknya Muhammad. Kakek Imam Lapeo adalah seorang penghafal Al-qur’an pada zamannya. Ibu Imam Lapeo bernama Siti Rajiah yang juga dikenal dengan sebutan Ikaji. Sedangkan kakek beliau dari pihak ibunya bernama Ilego, dan neneknya bernama Leana, yang menurut silsilah kekerabatannya berasal dari keturunan Hadat Tenggelang (suatu wilayah yang berada di Kec. Luyo Kab. Polman).
Pada masa kecilnya, K.H. Muhammad Thahir oleh orang tuanya diberi nama Junaihim Namli. Semenjak kecilnya ia dikenal sebagai anak yang patuh dan taat kepada orang tua, jujur, pemberani, serta memiliki kemauan yang keras.
Memasuki usia 25 tahun, bersama dengan paman beliau H. Bukhari, merantau ke padang Sumatera Barat. Selain untuk mendalami ilmu agama dari para ulama padang, juga berdagang sarung Sutera Mandar. Di usia 27 tahun, Junaihim Namli dinikahkan oleh gurunya Sayid Alwi Jalaluddin bin Sahil (seorang ulama besar dari Yaman yang sangat mempengaruhi pemikiran beliau, dan banyak memberikan motivasi untuk berjuang memberantas kejahilian) dengan seorang gadis yang bernama Nagaiyah (diganti Rugaiyah). Pada pernikahan inilah, nama asli Junaihim Namli diganti oleh gurunya menjadi Muhammad Thahir.
Pada bidang pendidikan formal beliau tidak begitu menonjol, justru beliau lebih tertarik pada ilmu agama. Diusia kanak-kanaknya beliau telah berkali-kali mengkhatamkan Al-qur’an melampaui teman-teman sebayanya. Menjelang usia remaja, beliau mulai memperdalam Bahasa Arab dengan mengkaji Ilmju Nahwu dan sharaf di Pambusuang. Setelah itu, beliau berangkat ke Pulau Salemo untuk lebih memperdalam ilmu Agama Islam dibawah bimbingan-bimbingan ulama besar dari Gresik Jawa Timur. Pada masa itu Pulau Salemo sangat terkenal dengan pesantrennya yang banyak melahirkan ulama besar di nusantara.
Setelah sekian tahun berguru di Pulau Salemo, beliau kemudian berangkat menuju Padang Sumatera Barat dan tinggal disana selama 4 tahun. Beliau juga pernah mengunjungi Semenanjung Malaka (sekarang Singapura). Sesudah itu beliau melanjutkan perjalanan ke Mekah untuk memperdalam ilmu agama dengan mendatangi beberapa ulama besar yang menguasai ilmu fiqh, tafsir, hadist, dan lain-lain. Beliau tinggal di Mekah beberapa tahun lamanya.
Dalam perjalanan hidupnya, K.H. Muhammad Thahir pernah menikah enam kali. Pernikahan tersebut didasarkan pada kesadaran beliau bahwa dengan cara demikian merupakan metode dakwah yang sangat efektif dalam mengembangkan syiar Islam. Hal tersebut ditandai dengan kenyataan bahwa beberapa dari istrinya berasal dari keluarga terhormat Dikalangan masyarakat Mandar, yang dianggap dapat menunjang perjuangan dakwah beliau.
K.H. MuhammadThahir mengembangkan agama Islam di Mandar dengan menggunakan pendekatan tasawuf, menyesuaikan kondisi pada masyarakat saat itu yang masih banyak dipengaruhi tradisi-tradisi lama, yaitu animisme dan dinamisme. Metode pendekatan tasawuf, pada dasarnya merupakan bentuk tharikat dalam ajaran Islam. Beliau langsung memberikan contoh kepada masyarakat dengan metode sufistik yang kemudian menarik perhatian banyak simpati kalangan masyarakat. Pernah suatu waktu, beliau didatangi seorang ahli sihir yang menyatakan keislamannya di hadapan beliau. K.H. Muhammad Thahir adalah sosok ulama besar, oleh masyarakat Tanah Mandar menyebutnya sebagai Waliyullah. Tenar dengan sebutan Imam Lapeo sebab beliaulah yang merintis, serta pendiri Masjid Lapeo yang terletak di Kecamatan Campalagian, Polewali Mandar. Dalam menyebarkan ajaran Islam di Mandar, Imam Lapeo menempuh berbagai cara, yaitu dakwah, pendidikan, serta jalur pernikahan. K.H. Muhammad Thahir Imam Lapeo, menghembuskan nafas terakhir dengan tenang dalam usian 114 tahun, pada hari Selasa, 27 Ramadhan 1362 H. atau tepatnya tanggal 17 Juni 1952 di Lapeo. Beliau dimakamkan di halaman Masjid Nur At-Taubah (bercirikan dengan menara tinggi). Hingga saat ini, makam K.H. MuhammadThahir yang populer dengan sebutan,“Tosalamaq Imam Lapeo” senantiasa ramai dikunjungi oleh peziarah yang datang dari berbagai daerah di tanah air. (arja)