Mengenang Sejarah Hari Korban 40.000 Jiwa

Samaunding,Saksi Korban Peristiwa 1 Februari 1947 di Galung Lombok (Arja Foto)Peristiwa 1 Februari 1947 di Galung Lombok

Oleh : Abdul Rajab Abduh

Kurang lebih tiga setengah abad bangsa Indonesia dicengkram kuku penjajahan. Sepanjang masa itu pula rakyat Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat, bergolak menentang serta melakukan perlawanan. Berjatuhan korban jiwa maupun harta benda yang tak terkira jumlahnya. Bahkan setelah diproklamirkan kemerdekan RI,17 Agustus 1945, para pejuang dan rakyat Sulselbar, khususnya di Mandar, masih harus menyumbangkan jiwa untuk mempertahankan kemerdekaan.                                        Sejarah Mencatat, terjadinya aksi teror korban 40.000 jiwa pasca kemerdekaan RI di Galung Lombok,Sulawesi Barat.

Berikut rentetan peristiwa yang dikisahkan Samaunding (87),salah seorang saksi korban yang masih hidup, selamat lolos dari pembantaian massal di Galung Lombok. Saat ini Samaunding tinggal di Lawarang,desa Lekopadis,kecamatan Tinambung. Ini merupakan kisah nyata pembantaian yang dilakukan oleh Tentara NICA (Nederlands Indicshe Civil Administration) dibawa komando Kapten Raymon Paul Pire Westerling.

Pada pagi hari sabtu tanggal 1 Februari 1947, sejumlah penduduk dijemput oleh tentara Belanda yang dibantu oleh orang pribumi di rumah masing-masing. Seperti yang biasa dilakukan oleh pasukan Westerling dalam aksi terornya di masyarakat Sulawesi Selatan (sekarang masuk dalam wilayah Sulawesi Barat), fase pertama adalah, orang-orang dari kampung-kampung di sekitar kampung Galung Lombok dikumpulkan. Kemudian digiring tentara Belanda ke Galung Lombok secara berombongan sekitar 40-50 orang dalam satu kelompok. Setiap lima orang dalam barisan itu diikat tali satu dengan yang lainnya. Ada juga yang digiring tentara dengan todong moncong senjata yang siap memuntahkan peluru.

Hari Sabtu itu bertepatan hari pasar Tinambung, dan semua orang yang sedang berada di pasar digiring ke Galung Lombok. Selain itu juga, ada yang diangkut dengan truk karena jaraknya cukup jauh, seperti dari kampung Soreang (masuk dalam wilayah kabupaten Majene), yang berjarak 38 km dari Galung Lombok. Namun sebagian besar penduduk digiring berjalan kaki berjarak sekitar 5 – 10 km. Pasukan Depot Speciale Troepen (DST) yang ke Majene dipimpin oleh Letnan Vermeulen.

Fajar mulai menyingsing. Tampak, tanah lapang di kampung Galung Lombok telah dijejali ribuan penduduk yang digiring dari sejumlah perkampungan. Hingga matahari mengguyurkan sinarnya, mereka tidak bisa berbuat apa-apa, terkecuali hanya pasrah dalam pengawalan ketat pasukan Westerling.

Ribuan rakyat tersebut,dipaksa untuk menyaksikan eksekusi terhadap orang-orang yang oleh Belanda dituduh sebagai ekstremis, perampok atau pembunuh. Semua tahanan dari penjara-penjara digiring ke Galung Lombok, kemudian langsung akan dieksekusi tembak mati tanpa proses pengadilan. Metode yang dijalankan tentara Belanda ini dikenal sebagai standrechtelijke executie, atau tembak mati di tempat.

Pola yang akan dilakukan di Galung Lombok juga sama di daerah lainnya di Sulsel, yaitu fase pertama, seluruh masyarakat digiring ke suatu lapangan besar yang terbuka, kemudian perempuan dan anak-anak dipisahkan. Fase kedua, dilakukan seleksi terhadap orang-orang yang dianggap sebagai ekstremis, perampok dan pembunuh.

Suasana menjadi tegang ketika dihadapan penduduk yang berkumpul di lapangan, berdiri seorang komandan militer dikawal sejumlah tentara yang siap tembak. Kemudian si komandan lantas menyebut satu persatu nama yang terdapat dalam berkas yang dipegangnya.

Bagi orang yang namanya disebutkan diperintahkan maju ke depan. Sejumlah nama yang disebutkan diperoleh dari sebuah dokumen intel Belanda yang dibantu orang pribumi, mereka yang dicurigai sebagai nama-nama para pejuang di Mandar.  Dan, tiba-tiba, door….door…! para tentara pasukan Westerling serta merta menembaki orang-orang tersebut. Dan para tahanan yang diambil dari penjara juga langsung ditembak mati, karena dianggap sebagai perampok atau pembunuh.

Jika awalnya penduduk yang disebutkan namanya diperintahkan tampil satu persatu kedepan, lalu diubah secara berkelompok karena hari sudah mulai panas. Mayat telah bergelimpangan dan lapangan telah bau amis dengan darah para pejuang. Tapi, aksi penembakan pasukan Westerling terus saja berlanjut.

Penduduk yang masih tersisa di lapangan diperintahkan berbaris secara berurutan. Ada dua atau tiga orang yang dijadikan sebagai juru bahasa selama berlangsung aksi penembakan. Mereka disuruh menunjuk orang-orang yang dicurigai sebagai pejuang.

Menjelang siang hari, ketika fase kedua sedang berlangsung, komandan pasukan Belanda, Letnan Vermeulen mendapat berita, bahwa terjadi penghadangan terhadap pasukan Belanda di kampung Talolo , di mana tiga orang serdadu Belanda gugur. Dengan berita ini, Vermeulen menjadi marah besar, dan kemudian memerintahkan untuk menembaki ribuan orang yang telah terkumpul di lapangan.

Menurut Samaunding, saat itulah banyak diantara mereka yang melarikan diri. Samaunding bersama sejumlah orang lainnya mencoba meloloskan diri dari ujung pelor yang siap merenggut nyawanya. Hingga telapak tangan kanannya terkena peluru, tapi dia terus saja berlari menyelamatkan diri.

Bagi penduduk yang luput dari sasaran penembakan, diperintahkan untuk menguburkan mayat-mayat yang bergelimpangan. Apabila tidak dapat menguburkan seluruhnya hingga sore hari, mereka diancam juga akan ditembak mati. Dengan ancama itu ada diantara mereka yang mampu menguburkan puluhan mayat dalam tempo kurang lebih dua jam. Menjelang malam hari masih terdapat puluhan mayat yang belum terkubur. Hingga banyak mayat yang dikubur sampai tiga orang atau lebih dalam satu lubang. Ada juga yang hanya ditutupi dengan daun-daun kering karena sudah malam.

Dalam catatan Batara Hutagalung, Ketua Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB), pemerintah Belanda dalam laporannya tahun 1969, menyebut korban tewas di Galung Lombok, sekitar 350 – 400 orang lebih. Tidak jelas jumlahnya berapa orang yang terluka atau meninggal diperjalanan.(dari berbagai sumber)

2 comments

Komentar ditutup.